Rabu, 09 Mei 2012

KESADARAN BERBAHASA INDONESIA

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, bahasa Indonesia berstatus sebagai bahasa kerja. Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau (wilayah Kepulauan Riau sekarang) dari abad ke-19. Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan "Bahasa Indonesia" diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa" apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan. Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing. Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu. Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia. Fonologi dan tata bahasa Bahasa Indonesia dianggap relatif mudah. Dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu. Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah "embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor. Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Pada tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.[12] Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan.[14] Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan, "Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan." Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.[16] Bahasa adalah aspek penting interaksi manusia. Dengan bahasa, (baik itu bahasa lisan, tulisan maupun isyarat) orang akan melakukan suatu komunikasi dan kontrak sosial. Bahasa muncul dari ujaran orang seorang. Bahasa merupakan hasil aktivitas manusia. Bahasa juga dipandang sebagai cermin kepribadian seseorang karena bahasa diterjemahkan sebagai refleksi rasa, pikiran dan tingkah laku. Adakalanya seorang yang pandai dan penuh dengan ide-ide cemerlang harus terhenti hanya karena dia tidak bisa menyampaikan idenya dalam bahasa yang baik. Oleh karena itu seluruh ide, usulan, dan semua hasil karya pikiran tidak akan diketahui dan dievaluasi orang lain bila tidak dituangkannya dalam bahasa yang baik. Banyak pemakai Bahasa Indonesia yang tidak berbahasa Indonesia dengan baik. Di antara siswa SMP, SMA, mahasiswa, bahkan guru. Mereka berbahasa seenaknya dan tidak mampu berbahasa Indonesia dengan tertib dalam situasi resmi. Hal ini diakibatkan karena kemungkinan menginginkan kemudahan dalam memilih kalimat yang digunakan. Tetapi kalimat tersebut tanpa disadari menimbulkan arti berbeda, kesalahan penggunaan kata dalam bahasa lisan maupun tulisan akan berakibat fatal bagi makna yang terkandung apalagi penghilangan beberapa kata dalam suatu ungkapan dan kalimat tertentu secara langsung akan menimbulkan interpretasi yang berbeda dari pembaca dan pendengar. Oleh karena itu, kita wajib meneropong kesadaran manusia itu terarah dan terbina. Apa yang dimaksud dengan kesadaran berbahasa ? Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), kesadaran pada dasarnya berasal dari kata “sadar” yang berarti "insaf", "merasa", "tahu" dan "mengerti". Sedangkan “kesadaran” diartikan sebagai "keinsyafan" atau "keadaan mengerti" dan "merupakan hal yang dirasakan atau dialami seseorang". Secara umum kesadaran merupakan suatu keinsyafan dalam diri manusia dan menjadi dasar untuk merefleksikan sesuatu. "Berbahasa" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah "menggunakan bahasa". Berbahasa tidak hanya berarti menyusun kata-kata, lebih dari itu menurut Garvin dan Mathiot, yang dikutip oleh Sumarsono dan Partana, (2002:364), di dalam berbahasa terdapat sikap bahasa yang setidaknya mengandung tiga ciri pokok yaitu 1. language loyalty (kesetiaan bahasa) yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain. 2. language pride (kebanggaan berbahasa) yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat. 3.wareness of the norm (kesadaran akan norma bahasa) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use). Ketiga ciri tersebut merupakan sikap positif terhadap kesadaran berbahasa. Sikap positif yaitu sikap antusiasme terhadap penggunaan bahasanya (bahasa yang digunakan oleh kelompoknya atau masyarakat tutur dimana dia berada). Sebaliknya jika ciri-ciri itu sudah menghilang atau melemah dari diri seseorang atau dari diri sekelompok orang anggota masyarakat tutur, maka berarti sikap negatif terhadap suatu bahasa telah melanda diri atau kelompok orang itu. Ketiadaan gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya merupakan salah satu penanda sikap negatif, bahwa kesetiaan bahasanya mulai melemah, yang bisa berlanjut menjadi hilang sama sekali. menurut Dr. Mansoer Pateda, yang dimaksud kesadaran berbahasa ialah sikap seseorang baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama bertanggung jawab sehingga menimbulkan rasa memiliki suatu bahasa dan dengan demikian ia berkemauan untuk ikut membina dan mengembangkan bahasa itu. (Sosiolinguistik, 1990: 26). Ciri-ciri orang yang bertanggung jawab terhadap suatu bahasa dan pemakaian bahasa adalah : Selalu berhati-hati menggunakan bahasa; Tidak merasa senang melihat orang yang mempergunakan bahasa secara sembarangan; Memperingatkan pemakai bahasa kalau ternyata ia membuat kekeliruan; Tertarik perhatiannya kalau orang menjelaskan hal yang berhubungan dengan bahasa; Dapat mengoreksi pemakaian bahasa orang lain; Berusaha menambah pengetahuan tentang bahasa tersebut; Bertanya kepada ahlinya kalau menghadapi persoalan bahasa. Ciri-ciri orang yang memiliki kesadaran berbahasa, diantaranya : Sikap terhadap bahasa dan berbahasa Tanggung jawab bahasa dan berbahasa Rasa ikut memiliki bahasa Berkemauan membina dan mengembangkan bahasa Dari ciri-ciri diatas, juga merupakan upaya-upaya yang harus dilakukan mahasiswa dan guru untuk menghadirkan dirinya sebagai orang yang memiliki kesadaran berbahasa. Untuk menanamkan rasa memiliki bahasa, orang harus bertitik tolak dari anggapan bahwa bahasa adalah miliknya pribadi. Jika bahasa dianggap sebagai milik pribadi maka konsekuensinya kita wajib memeliharanya. Mahasiswa harus ikut serta memakai bahasa secara tertib. Dalam buku yang berjudul Sosiolinguistik dari Mansoer Pateda (Bab III;hal.31) ada 2 macam partisipasi dalam pembinaan bahasa, yaitu partisipasi formal dan partisipasi informal. Seseorang telah hati-hati bicara atau menulis sehingga bahasanya terpelihara, tidak ada kesalahan dari segi kaidah bahasa. Partisipasi ini disebut partisipasi informal. Ada pula yang dinamakan dengan pastisipasi formal, ialah kegiatan pembinaan bahasa melalui pertemuan formal. Contohnya : ikut berpatisipasi dalam forum diskusi, seminar, dan sebagainya yang berkaitan dengan berbahasa. Bagaimana pun kita harus menggalakkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar secara terus-menerus. Para guru, dosen, dan mahasiswa sebagai ujung tombak pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah atau di kampus untuk menumbuhkan kesadaran agar bahasa Indonesia terpelihara oleh pemakainya. Tugas yang sangat terhormat tentunya, sebagai bentuk kesetiaan untuk memelihara Bahasa Indonesia sebagai pusaka dan amanah yang abadi. Daftar Pustaka 1.Pateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguistik. Angkasa Anggota IKAPI. Bandung. 2.Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.(2012).Bahasa Indonesia.(online).Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Indonesia 3.Kampus Sopian. (2012). Kesadaran Berbahasa Indonesia. (online). Tersedia :http://Sopian72@blogspot.com

Minggu, 06 Mei 2012

Kesan dan Pesan Mengikuti Perkuliahan Bahasa Indonesia Bersama Dosen Hj. Isna Sulastri

Kesan pertama mengikuti perkuliahan bahasa indonesia bersama Ibu Hj. Isna Sulastri begitu membuat penasaran bagi saya. Berbeda dengan dosen lain yang selalu berusaha membuat suasana rileks, mungkin dikarenakan cara penyampaian Ibu Hj. Isna Sulastri yang terlalu serius, sehingga terkesan membeku. Terlepas dari itu semua saya menjadi terangsang dengan motivasinya setelah membaca tulisan-tulisan Ibu Hj. Isna Sulastri di webblog rumah maya kita, saya sungguh kagum akan dedikasi ibu terhadap bahasa indonesia. Pesan saya: 1.Ibu Hj. Isna Sulastri harus selalu menjaga kesehatan dan jangan terlalu cape karena pekerjaan ibu yang begitu mulia; 2. Sehubungan saya mahasiswa kelas karyawan maka saya mohon Ibu Hj. Isna Sulastri bisa memahaminya sehingga ketika memberi tugas kepada mahasiswa ini seringan mungkin namun tetap tidak mengurangi kualitas tugasnya Demikian dan terima kasih.